Dalam Hati


Namaku Handiya Nurma atau biasa dipangil Nurma. Aku lahir dikeluarga yang sangat mampu di sebuah kota di ujung timur Indonesia. Sedari kecil aku selalu dimanja oleh keluargaku, apalagi dengan statusku sebagai anak tunggal yang mana orang – orang bilang sebagai anak kesayangan.
Suatu hari di kantin sekolah aku duduk sendirian, yang mana saat itu aku adalah anak pindahan yang baru masuk. Saat aku duduk sendirian dan sedang bermain smartphone sembari ditemani es teh yang ku beli di kantin. Datang 3 orang cewek yang menghampiriku, yang mana salah satu diantara mereka ada yang ku kenal, yaitu Winda ia adalah orang yang sangat supel dan paling malas di kelasku. Kerjaannya saat dikelas hanya gosip dan suka membuat kegaduhan di kelas.
Singkat cerita mereka menyampaku sembari duduk di meja ku.
“Hai! namamu Nurma kan?” tanya seorang yang belum kutahu namanya itu.
“Iya namaku Nurma.”
“Um.. Okey, perkenalkan namaku Desi, ini Winda dan ini adalah Dini.” Ia memperkenalkanku dengan teman – temannya sembari menunjuk mereka sartu persatu.
“Hai! Salam kenal.” Jawabku ramah.
Sejak saat itu kami begitu dekat, dengan sifatku yang terbuka membuat mereka senang berteman denganku. Kemanapun kami selalu bersama, ke sekolah, ke kantin, ke perpus bahkan ke kamar mandipun kami selalu barengan, sampai – sampai guru kami sering bergumam dengan kedekatan kami.
Pernah suatu ketika kami pergi bersama untuk membeli makanan di sebrang sekolah saat jam istirahat, kami terlambat kembali karena antrian itu sangat panjang.
“Eh yuk buruan, sudah bel masuk nih!” ucap Dini dengan wajah panik.
“Iya santai dong! tinggal punya kita nih yang belum di bikinin sama masnya, paling habis ini giliran kita.” Balas winda menenangkan dengan nada sewotnya.
“Eh iya, habis inikan mapelnya Pak Budi guru sejarah yang killer abis itu. Ntar kita bisa-bisa dihukum suruh lari lapangan nih.” ujar Desi menambah suasana semakin kacau.
Kami berempat khawatir akan duhukum saat tiba di sekolah sambil menunggu pesanan kami di buatkan oleh mas – mas ganteng yang jualan Seblak itu. Tak heran jika lapaknya selalu ramai oleh pembeli yang rata – rata adalah cewek – cewek.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya pesanan kami pun jadi dan kamipun langsung pergi menuju sekolah. Namun, tak lama saat kami beranjak dari warung itu, terdengar suara mas – mas ganteng yang jual seblak memanggil kami.
“Eh.. eh.. denger ga? kayanya ada yang manggil kita deh.” Ujar Winda curiga.
“Iya nih” Kami menjawab sembari mencari sumber suara.
Ternyata dari kejauan kami melihat mas – mas ganteng penjual seblak itu melambaikan tangannya sembari memanggil kami dengan sura merdunya.
“Aiih.. Mas ganteng manggil kita gahes, kayanya masnya mau minta no handphone kita nih!” Ucap Winda penuh percaya diri.
Sesampainya kami di warung tersebut,
“Ada apa mas? mau kenalan sama kita ya?” Tanya Winda dengan raut wajah senang.
“Lah? Apaan sih neng? Saya teh manggil eneng bukan mau ngajak kenalan.” Jawab Mas ganteng penjual seblak itu sambil menyengir.
“Trus kenapa masnya manggil kita?” Sambung Desi.
“Gini neng, Eneng sama temennya eneng belum bayar seblaknya. Hehehe.” Jawab mas ganteng penjual seblak itu sembari tertawa.
“Eh? masa? Hehehe maaf ya mas, ini uangnya.” Winda memberikan uang sembari menyalahkan aku dan teman – teman.
Kamipun berbalik badan dengan rasa malu dan perlahan meninggalkan warung seblak itu.
“Eh. Desi, kamu kok ga bilang kalau seblaknya belum dibayar? Mana kita sudah ke pedean karna bakal kenalan sama mas ganteng itu.” Tanya Winda dengan nada serius.
“Hehehe.. Maaf ya teman – teman aku lupa.. hehe.” Jawab Desi
“Eh. btw gahes. Kita sudah telat satu jam!” Ucapku mengingatkan mereka dan membuat suasana semakin menegang.
“Eh.. Sumpah? Gila kita bakal dihukum nih sama Pak Budi!” Sambung Dini dengan panik.
Kamipun berlari menuju sekolah dengan tergesa – gesa. Ditengah jalan aku sempat tersandung tanjakan, akhirnya aku terjatuh dan menabrak tanaman bunga yang bedada di kanan jalan menuju sekolah itu.
“Aduh..!” Rintihku terjatuh.
“Duh.. Kamu kenapa Nurma?” Tanya Dini sambil menolongku.
“Haiiis.. Pake acara jatuh segala, kita sudah telat nih. Yuk buruan!” Sambung Winda dengan kesal.
Kamipun melanjutkan perjalanan menuju sekolah dengan keadaanku yang berlari dengan pincang.
Sesampainya di depan pintu gerbang sekolah, kami di cegat oleh pak Bowo yang merupakan satpam sekolah.
“Hei kalian! Habis dari mana?” Tanyanya pada kami.
“Ini pak, Anu, tadi kita habis jajan di luar, trus ngantrinya lama banget. Ini aja baru selesai di layani sama mas – mas yang jualan. Kalau ga percaya lihat nih pak masih panas.” Jawab Winda yang sudah letih berlari.
“Iya pak, ini lho Nurma aja sampai jatuh karna kesandung gara – gara lari biar ga telat.” Sambung Desi.
“Um.. ya sudah sana masuk ke kelas!” Perintah pak Bowo dengan nada tinggi.
“Iya pak.” Jawab kami serempak.
Kamipun berjalan menuju kelas, dengan baju yang basah kuyup karena keringat. Sesampainya di kelas, ternyata pak Budi tidak mengajar dikarenakan sedang sakit.
“Huft! untung saja Pak Budi ga masuk kelas. Coba kalu iya? habis kita.” Ujar Winda sambil tertawa lepas.
“Eh tapi Nurma kamu ga papa kan?” Tanya dini yang khawait padaku.
“Iya gapapa kok. Aku baik – baik saja.” Jawabku menahan rasa sakit.
Sepulah sekolah, aku merakan bahwa kepalaku terasa sangat sakit, tetapi aku hanya menganggap bahwa itu adalah pusing biasa. Selang satu bulan semenjak saat itu sakit di kepala yang ku rasakan semakin menjadi, itu yang membuatku semakin tertekan dan menutupi sakitku itu pada semua orang, termasuk kedua orang tuaku.
“Kamu kenapa sayang? Kok pucat begitu?” Tanya mama menghampiriku di kamarku.
“Ga papa kok ma, aku baik – baik aja. Cuma pusing, mungkin meriang hehe..” Jawabku menenangkan perasaan mama.
“Um ya sudah, istirahat gih, mau mama bikinin teh anget ga?” Tanya mama.
“Nggak ma terima kasih, aku cuma butuh tidur aja kok. Mungkin kecapekan karena tadi di sekolah ada mapel Penjas.” Jelasku.
“Ya sudah, mama mau ke dapur dulu ya. Mama mau nyiung bawang buat masak besok pagi. Kamu tidur ya, selamat tidur sayang.” Ujar mama lalu mencium keningku.
Hampir satu tahun berlalu sakit di kepalaku belum juga berakhir. Setiap ada orang yang bertanya mengenai kondisiku aku selalu mejawab dengan kata baik – baik saja.
Aku yang dulunya orang yang terbuka kini menjadi orang yang sangat tertutup apalagi jika ditanya tentang kondisiku. Hingga pada suatu saat di jam mapel Penjas aku sempat pingsan dengan mengeluarkan darah di hidungku.
“Nurma kamu kenapa?” Teriak Winda yang melihat aku terbaring lemah degan darah yang keluar dari hidungku.
“Nurma kamu kenapa?”,”Nurma kenapa?” Tanya semua orang yang melihatku.
Pada saat itu juga aku di bawa ke rumah sakit terdekat dari sekolahku oleh guru dan teman – temanku. Akupun dirujuk di ruang UGD.
Setelah beberapa saat aku tersadar dan melihat diriku sudah berada di kamar rumah sakit. di balik pintu kamar rumah sakit aku melihat Ayah, Mama, Dokter dan Guruku sedang berdiskusi dengan wajah yang amat serius. Selang beberapa lama aku melihat mama menangis di pelukan ayahku.
Setelah selesai berdiskusi, Mama dan Guruku masuk ke kamar dan kulihat Ayah pergi bersama Dokter entah kemana.
“Kamu kenapa sayang? Kok kamu ga pernah cerita kamu kamu lagi sakit?” Tanya Mama sambil menangis dan memeluku.
“Harusnya kamu cerita kalau kamu sedang sakit atau punya keluhan. Biar cepa ditangani dan dicegah.” Sambung Mama.
“Lain kamu kalau kamu sakit sebaiknya ijin untuk tidak ikut mapel Penjas saja Nurma. Biar kamu bisa istirahat di UKS.” Sambung guru penjasku.
Saat itu aku tidak dapat berkata – kata lagi. Emosiku terpecah karena penyesalanku selama ini yang membiarkan sakit di kepalaku ini hingga membuat orang – orang yang ku sayangi menjadi sedih seperti ini.
Tak lama kemudian, Ayah dan Dokter datang memberitahuku bahawa aku Gegar Otak karena terjadi benturan keras pada kepalaku, yang pada saat itu aku teringat kejadian dimana aku jatuh saat berlari menuju sekolah bersama teman – teman karena terlambat.
Dokter menjelaskan bahwa benturan keras yang terjadi padaku di diagnosa sudah terjadi sangat lama hingga membuat daya ingat dan daya tahan tubuhku menurun. Dan dokter juga memperkirakan bahwa umurku tak lama lagi. Saat itu Ibuku semakin menangis dan memelukku erat.
Sejak saat itulah aku mulai banyak istirahat dan selalu ditemani oleh orang – orang yang kusayangi. Aku juga menyesal dengan sifatku yang berubah dari yang terbuka hingga menjadi orang yang yang sangat tertutup. Aku menyesali perbuatanku yang membiarkan penyakit bersarang di tubuhku.

[Tamat]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel